Berita  

PSR, Investasi Masa Depan: Petani Bukan Lagi Objek, Tapi Subjek Pembangunan

Caption : Chaidir Toweren, SE., KJE Pengiat Sosial dan ketua Organisasi pers PJS Aceh

Oleh : Chaidir Toweren

InfoNewsNusantara.com

Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang diluncurkan pemerintah dalam beberapa tahun terakhir menjadi salah satu tonggak penting dalam upaya memperbaiki tata kelola perkebunan sawit di Indonesia. Program ini tidak hanya bertujuan mengganti tanaman sawit tua dan tidak produktif dengan bibit unggul bersertifikat, tetapi juga membawa pesan yang lebih besar, mengubah petani kecil dari sekadar penghasil tandan buah segar (TBS) menjadi petani mandiri yang memiliki daya tawar dan kesejahteraan lebih baik.

Sawit rakyat yang selama ini menguasai sekitar 40% luas perkebunan sawit nasional menghadapi banyak tantangan, pohon sawit yang sudah berumur tua, rendahnya produktivitas, keterbatasan modal, dan ketergantungan pada tengkulak. Kondisi ini menjebak petani dalam lingkaran ketidakmandirian, hasil panen rendah, harga jual ditekan, dan posisi tawar lemah di hadapan pabrik maupun pasar.

Melalui PSR, paradigma itu mulai berubah. Petani kini tidak lagi sekadar menanam dan menunggu hasil, tetapi juga mendapatkan pendampingan dari hulu hingga hilir. Dana bantuan peremajaan yang dikucurkan melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) menjadi modal awal yang membuka jalan bagi petani kecil untuk beralih ke pola tanam yang lebih modern. Bibit unggul yang diberikan terbukti mampu menghasilkan produksi lebih tinggi, sementara pendampingan teknis memastikan petani memahami praktik budidaya berkelanjutan.

Di sisi lain, PSR juga membuka ruang bagi petani untuk belajar mengelola kelembagaan kelompok. Banyak koperasi tani sawit yang lahir dari program ini, dan dari situlah kemandirian kolektif mulai tumbuh. Petani tidak lagi berdiri sendiri, tetapi bersatu dalam organisasi yang bisa menegosiasikan harga dengan pabrik, merancang strategi pemasaran, hingga mengakses kredit perbankan.

Lebih jauh lagi, PSR mendorong petani untuk berpikir tentang diversifikasi usaha. Tidak sedikit kelompok tani sawit yang mulai melirik potensi lain, seperti pengolahan limbah sawit menjadi pupuk organik atau energi alternatif. Inilah wajah baru petani sawit yang mandiri, tidak hanya menjual hasil panen mentah, tetapi juga mampu memberi nilai tambah pada produk mereka.

Tentu, jalan menuju kemandirian penuh tidaklah mulus. Masih ada persoalan transparansi, lambatnya pencairan dana, serta tumpang tindih regulasi yang kadang membuat petani bingung. Namun, semangat yang ditanamkan PSR jelas, petani kecil harus naik kelas. Mereka bukan lagi objek kebijakan semata, melainkan subjek pembangunan yang berdaya, mampu mengelola kebunnya, memperjuangkan haknya, dan menentukan masa depannya sendiri.

PSR bukan sekadar soal mengganti tanaman tua dengan yang baru. Ia adalah gerakan untuk membentuk karakter petani baru, petani mandiri, petani modern, dan petani yang siap bersaing di pasar global. Jika konsistensi program ini terus dijaga, maka kita bisa berharap suatu saat nanti, sawit rakyat bukan hanya tulang punggung ekonomi desa, tetapi juga pilar penting kemandirian bangsa.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *