Opini: PP 45/2025, Antara Penegakan Hukum dan Kepastian Investasi

Oleh : Chaidir Toweren

InfoNewsNusantara.com — Peraturan Pemerintah (PP) No. 45 Tahun 2025 tentang Sanksi Administratif di Bidang Kehutanan baru saja diterbitkan pemerintah. Regulasi ini menimbulkan perdebatan luas, terutama karena memperluas kewenangan Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan (Satgas PKH).

Dalam ketentuan PP tersebut, Satgas PKH memiliki instrumen yang sangat kuat: mulai dari penguasaan kembali lahan, paksaan pemerintah, pencabutan izin, pemblokiran rekening, hingga pencegahan seseorang untuk bepergian ke luar negeri. Artinya, kewenangan ini bukan sekadar administratif, melainkan dapat berimplikasi besar pada iklim usaha dan investasi.

Yang perlu digarisbawahi, meski denda dibayarkan, lahan yang sudah ditetapkan sebagai kawasan hutan tetap bisa diambil alih kembali oleh pemerintah. Ini tentu menimbulkan pertanyaan mendasar: di mana letak kepastian hukum bagi investor maupun masyarakat yang sudah lama mengelola lahan tersebut?

Denda Rp25 Juta per Hektare: Hukuman atau Penghancuran Industri?

Salah satu pasal yang paling banyak menuai kritik adalah besaran denda Rp25 juta per hektare per tahun bagi pengelolaan lahan yang dinilai melanggar aturan. Angka ini bukan hanya memberatkan, tetapi dianggap sebagai “pembunuhan” bagi industri sawit dan perkebunan rakyat.

Bayangkan jika sebuah perusahaan atau koperasi rakyat mengelola 100 hektare lahan, maka kewajiban dendanya mencapai Rp2,5 miliar per tahun. Dalam konteks daya saing global, beban ini jelas akan membuat investor berpikir ulang menanamkan modalnya di Indonesia. Apalagi sawit selama ini merupakan penyumbang devisa terbesar negara di sektor non-migas.

Kekhawatiran ini bukan hanya soal nominal denda, tetapi juga soal citra buruk investasi. Indonesia bisa dipersepsikan sebagai negara yang tidak ramah investasi, penuh risiko regulasi, dan tidak memberikan jaminan kepastian hukum.

Namun, jika ditelusuri lebih dalam, akar masalahnya bukan hanya pada PP 45/2025. Persoalan mendasar justru ada pada proses penetapan kawasan hutan yang sejak awal tidak mengikuti aturan dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

UU jelas menyebutkan bahwa sebelum penunjukan kawasan hutan harus dilakukan survei sosial, ekonomi, serta penguasaan tanah masyarakat. Faktanya, banyak kawasan yang langsung ditetapkan sebagai kawasan hutan tanpa proses tersebut, sehingga memicu tumpang tindih klaim, konflik agraria, dan ketidakpastian hukum hingga kini.

Artinya, regulasi baru ini bisa saja menjadi obat yang salah untuk penyakit lama. Tanpa perbaikan mendasar pada tata kelola penetapan kawasan hutan, PP 45/2025 justru berpotensi memperparah masalah dengan menambah ketakutan di kalangan pelaku usaha dan masyarakat.

Tidak ada yang menolak penegakan hukum di bidang kehutanan. Semua pihak sepakat bahwa hutan harus dijaga, illegal logging harus diberantas, dan penguasaan lahan secara sewenang-wenang tidak boleh dibiarkan. Tetapi, penegakan hukum harus berjalan beriringan dengan kepastian hukum.

Jika aturan dibuat terlalu represif tanpa memperhitungkan kondisi lapangan, yang terjadi bukanlah penegakan hukum yang adil, melainkan penyumbatan investasi dan kerugian ekonomi. Dalam jangka panjang, hal ini bisa melemahkan daya saing nasional, sekaligus menimbulkan keresahan sosial di tingkat lokal.

PP 45/2025 seharusnya tidak hanya dilihat dari sisi instrumen sanksi, tetapi juga harus dibarengi dengan upaya memperbaiki tata kelola kehutanan, termasuk pemetaan ulang kawasan hutan dengan melibatkan masyarakat secara partisipatif.

Kebijakan yang baik adalah kebijakan yang tegas sekaligus adil. Penegakan hukum yang tegas memang diperlukan, tetapi kepastian hukum yang melindungi masyarakat dan investor juga sama pentingnya.

PP 45/2025 bisa menjadi momentum memperbaiki tata kelola kehutanan nasional. Namun jika implementasinya tidak hati-hati, ia justru bisa menjadi bumerang: menimbulkan ketakutan, menghambat investasi, bahkan melemahkan citra Indonesia di mata dunia.

Sumber artikel  Prof. Budi Mulyanto – Guru Besar IPB, Bidang Kebijakan, Tata Kelola Pertanahan, Ruang dan Sumber Daya Alam

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *