INN
Banyak masyarakat, bahkan sebagian aparatur sipil negara (ASN) sendiri, masih rancu membedakan antara Tunjangan Kinerja (Tukin) dan Tambahan Penghasilan Pegawai (TPP). Sekilas keduanya tampak serupa, sama-sama berfungsi untuk memberikan insentif atas kinerja ASN. Namun, bila ditelusuri lebih dalam, ternyata Tukin dan TPP memiliki dasar, sumber anggaran, serta nilai manfaat yang sangat berbeda.
Tukin merupakan tunjangan yang diperuntukkan bagi ASN di instansi pusat, seperti kementerian dan lembaga nasional. Dana Tukin bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), dengan perhitungan yang didasarkan pada kelas jabatan dan capaian kinerja individu maupun unit kerja. Sementara itu, TPP diberikan kepada ASN di lingkungan pemerintah provinsi, kabupaten, dan kota, dan dananya bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Perbedaan sumber anggaran inilah yang kemudian melahirkan jurang kesenjangan pendapatan antar ASN pusat dan daerah. ASN pusat bisa menerima Tukin dengan nominal yang menggiurkan bahkan di beberapa instansi, besarnya bisa mencapai kelipatan dari gaji pokok. Sementara ASN di daerah hanya menerima TPP dengan nilai yang bergantung pada kemampuan keuangan daerah. Artinya, daerah kaya seperti DKI Jakarta atau Jawa Timur tentu bisa memberikan TPP tinggi, sedangkan daerah miskin seperti di pedalaman Sumatera, Kalimantan, atau Papua hanya mampu memberi tambahan sekadarnya saja.
Padahal, baik ASN pusat maupun daerah berada dalam satu sistem kepegawaian nasional, yang sama-sama berada di bawah kewenangan Kementerian PANRB dan Badan Kepegawaian Negara (BKN). Pertanyaannya, apakah ASN daerah bukan bagian dari ASN yang sama-sama mengabdi untuk negara? Jika jawabannya iya, mengapa perlakuan terhadap kesejahteraan mereka begitu timpang?
Faktanya, ASN di daerah justru menjadi ujung tombak pelayanan publik. Mereka yang setiap hari berhadapan langsung dengan masyarakat mengurus administrasi kependudukan, pendidikan, kesehatan, hingga pelayanan sosial di tingkat paling bawah. Sementara ASN pusat sebagian besar berperan sebagai regulator dan pembuat kebijakan. Ironisnya, yang bekerja di lapangan dengan beban sosial tinggi justru mendapat tambahan penghasilan yang paling kecil.
Kesenjangan ini tidak hanya menimbulkan rasa ketidakadilan, tetapi juga berpotensi melemahkan motivasi dan loyalitas ASN daerah. Banyak ASN di daerah akhirnya bekerja dengan keterbatasan sarana, fasilitas, bahkan kesejahteraan, sementara rekan mereka di pusat hidup dalam kenyamanan finansial. Akibatnya, kualitas pelayanan publik di daerah sulit untuk meningkat secara signifikan.
Kini, di era pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, harapan muncul agar persoalan klasik ini mendapat perhatian serius. Presiden yang dikenal tegas dan memiliki kepedulian terhadap kesejahteraan rakyat diharapkan meninjau ulang sistem pemberian insentif ASN secara nasional. Tujuannya jelas: mewujudkan keadilan kesejahteraan antara ASN pusat dan daerah.
Salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah membangun skema nasional penyetaraan insentif ASN, di mana pemerintah pusat memberikan formula subsidi atau afirmasi bagi daerah dengan kemampuan fiskal rendah. Dengan demikian, ASN di Aceh, Kalimantan, Nusa Tenggara, hingga Papua tidak lagi jauh tertinggal dibanding ASN di Jakarta atau Surabaya.
Selain itu, sudah saatnya pemerintah meninjau kembali regulasi yang mendasari sistem TPP agar tidak semata-mata bergantung pada kekuatan APBD. Jika sistem penggajian ASN memang bertujuan untuk menciptakan birokrasi yang kuat, profesional, dan berintegritas, maka kesejahteraan ASN di seluruh Indonesia harus menjadi prioritas yang sama rata.
ASN pusat dan daerah adalah dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Tanpa ASN daerah, kebijakan pusat hanya akan berhenti di atas kertas. Sebaliknya, tanpa arah kebijakan dari pusat, ASN daerah tidak memiliki acuan kerja yang jelas. Maka, memperlakukan keduanya secara setara bukan hanya soal keadilan, tapi juga soal efisiensi dan efektivitas pelayanan publik nasional.
Sudah saatnya pemerintah berhenti membiarkan kesenjangan ini berlarut-larut. Jika ingin membangun birokrasi yang kuat dan satu napas di seluruh Indonesia, maka keadilan bagi ASN harus dimulai dari penyetaraan hak kesejahteraan mereka.
Karena pada akhirnya, pelayanan publik yang adil hanya bisa lahir dari birokrasi yang sejahtera dan tidak terpecah oleh ketimpangan kebijakan.
Penulis : Chaidir Toweren Wakil Ketua Patriot Bela Negara Provinsi Aceh